Bukit Rhema, Simbol Toleransi dalam Multikultural Indonesia



Ini adalah tulisan, hasil tugas Metopen. Sayang juga kalau teronggok di laptop. Mending ak share disini. Semoga bermanfaat. 



Mendengar kata Magelang, mungkin sebagian dari kita akan terbayang dengan Candi Borobudur yang merupakan warisan budaya Indonesia. Kemegahan yang kental akan nilai sejarah dan religi menjadi simbol kejayaan peradaban Indonesia pada masa itu. Akan tetapi, selain Candi Borobudur, Magelang juga memiliki keindahan alam berupa bentang pegunungan dan suasana pedesaan yang asri dan jauh dari polusi serta hiruk pikuk kota metropolitan, sehingga sangat cocok untuk wisata dan merenungi akan nikmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Salah satu wisata religi sekaligus wisata alam dengan pemandangan yang begitu menyejukkan mata adalah Bukit Rhema yang terletak di sebelah barat Candi Borobudur. 


Bukit Rhema dikenal oleh banyak orang dengan sebutan gereja ayam, karena bentuknya seperti ayam yang sedang bertelur. Namun sebenarnya Bukit Rhema ini berbentuk burung Merpati. Berikut kenampakan Bukit Rhema yang penulis ambil langsung dari lokasi.


Bukit Rhema (dok.pribadi)





Akan tetapi, sebelum bercerita panjang lebar, penulis ingin memperkenalkan diri. Saya Efi, mahasiswa S2 Biologi UGM. Perjalanan ke Bukit Rhema penulis lakukan bersama 1 orang teman dan 1 adik penulis. Perjalanan dilakukan pada tanggal 19 Maret 2017 dan dimulai pada pukul 11.00 WIB dari rumah penulis yang kebetulan juga di daerah Magelang, tepatnya di Kecamatan Muntilan. Jarak tempuh ke Bukit Rhema sekitar 14 km dengan estimasi waktu kurang lebih 32 menit. Namun karena sempat tersesat, penulis butuh waktu sekitar 50 menit untuk sampai di lokasi.
 Berbekal google maps, penulis mencari lokasi Bukit Rhema. Arahan maps mengharuskan penulis melewati pedesaan, tersesat dan muter-muter beberapa kali. Terlebih penulis dan teman penulis awalnya tidak tahu kalau Bukit Rhema adalah gereja ayam, sehingga penulis mencari papan petunjuk bertuliskan gereja ayam namun tak dijumpai. Jika pembaca ingin kesana, silahkan mencari plang Bukit Rhema, jangan gereja ayam, supaya tidak bingung seperti yang penulis alami.  Masyarakat di sana memang menyebutnya Bukit Rhema bukan gereja ayam. Sehingga terjadi miss komunikasi. Namun, semua terasa menyenangkan karena pedesaan yang dilewati menyajikan pemandangan yang asri dan indah. 
 Alternatif jalan lain menuju ke Bukit Rhema adalah dari Candi Borobudur melewati jalan ke arah Kabupaten Salaman, kemudian ikuti plang bertuliskan “Bukit Rhema”. Jalan tersebut lebih mudah ditempuh dan tersedia fasilitas seperti mobil jeep untuk naik ke Bukit Rhema. Biaya parkir Rp 3.000,- dan perjalanan  dapat ditempuh sekitar 25 menit dari kecamatan Muntilan atau sekitar 1 jam 20 menit dari Yogyakarta.
Pukul 11.50 WIB, penulis sampai di parkiran lokasi Bukit Rhema, dikarenakan tersesat, penulis memarkirkan kendaraan di rumah warga yang memang menyediakan lokasi untuk parkir kendaraan. Biaya parkir hanya Rp 2.000,- dan dana itu digunakan warga untuk perbaikan fasilitas umum. Di sana juga terdapat warung sederhana yang menjual makanan dan minuman. Untuk menuju Bukit Rhema penulis masih harus berjalan kaki sejauh 2 km, kurang lebih setengah jam. Namun semuanya terasa menyenangkan sebab hawa dan nuansa pedesaan yang asri menjadi pemandangan indah di depan mata. Selain berjalan kaki, sebenarnya pengunjung dapat menggunakan mobil jeep untuk menuju ke Bukit Rhema. Akan tetapi, parkir untuk dapat menggunakan mobil jeep tidak seperti tempat parkir penulis, namun di tempat lain, yang sebenarnya telah disediakan. Semua tergantung selera, ingin berjalan kaki atau menggunakan mobil jeep. Tarif jasa naik jeep hanya Rp 7.500,-/orang.
Jalan setapak menuju loket Bukit Rhema




Sebelum masuk Bukit Rhema, pengunjung diwajibkan untuk membeli tiket masuk seharga Rp 10.000,- untuk turis domestik dan Rp 25.000,- untuk turis manca negara. Dari loket, pengunjung harus berjalan kaki menaiki anak tangga sejauh 100m hingga sampai ke lokasi.
Bukit Rhema terletak di perbukitan yang sejajar dengan putuk Setumbu. Tempat ini merupakan wisata religi yang pembangunannya baru mencapai 60%. Meskipun demikian, tempat ini telah ramai dikunjungi traveler dalam dan manca negara. Bukit Rhema terdiri dari tujuh lantai dimana setiap lantai nantinya akan ada story telling perjalanan arti doa, mukjizat, kearifan lokal serta multikultural Indonesia yang dirangkai dalam cerita yang menarik di setiap lantainya. 
Anak tangga menuju Bukit Rhema

Sampai di pintu masuk Bukit Rhema, penulis bertemu para pegawai yang memberikan senyum ramah dan menawarkan pilihan untuk melihat-lihat ruang bawah tanah atau ke lantai atas. Di ruang bawah tanah, pengunjung dapat beribadah sesuai dengan kepercayaan agama masing-masing. Sesuai tema yang diangkat tempat wisata ini yaitu “ House of Prayer for All Nations”. Di sini disediakan tempat beribadah untuk kelima agama di Indonesia. Semuanya terasa indah dan damai dalam multikultural. Seperti juga bangsa Indonesia yang penuh kemajemukan namun tetap satu kesatuan dan menghargai toleransi beragama.
Penulis juga sempat melaksanakan ibadah shalat dhuhur dan beristirahat sejenak di ruang bawah tanah. Fasilitas umum yang disediakan seperti peralatan ibadah yaitu mukena dan sarung cukup bersih, sandal untuk berwudhu dan toilet juga disediakan untuk pengunjung. Dari sini terlihat bahwa Bukit Rhema ini terjaga kebersihannya, meskipun dari luar dinding bangunan nampak tua dan ditumbuhi jamur, secara keseluruhan bagian dalam tetap kokoh dan memang sedang dalam proses pembangunan.
Salah satu sudut menarik di ruang bawah tanah adalah adanya tulisan Bukit Rhema dan sudut-sudut ruangan kosong seperti bilik untuk beribadah dan memanjatkan doa. Diiringi musik yang lembut, suasana sakral semakin terasa. Sejarah Bukit Rhema juga dijelaskan di salah satu sudut ruangan bawah tanah, bahwa awal mulanya, pada tahun 1988, Daniel Alamsjah, terpanggil untuk berdoa semalaman di bukit ini, ia kemudian mendapat perintah dari Firman Tuhan yang membesar: “Camkanlah sekarang, sebab Tuhan telah memilih engkau untuk mendirikan rumah menjadi tempat kudus, kuatkanlah hatimu dan lakukanlah itu” (1 Tawarikh 28:10). 
Setelah puas berkeliling di ruang bawah tanah, penulis memutuskan untuk naik ke lantai atas. Di sana penulis dapat menikmati pemandangan alam dan sejuknya angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. Akan tetapi, sebelum naik ke lantai atas, pengunjung diwajibkan untuk mendaftar dan menunggu panggilan, sebab kapasitas pengunjung untuk ke lantai atas dibatasi dengan tujuan agar bangunan tidak mudah roboh dan demi keselamatan pengunjung. Sambil menunggu dipanggil, pengunjung disediakan kursi untuk duduk dan melihat tayangan video sejarah Bukit Rhema .


Jika diperhatikan lebih seksama, salah satu yang menarik dari bangunan ini adalah adanya tanda salip dibagian atap bangunan tepatnya di punggung Merpati. Mungkin karena itulah kebanyakan pengunjung menyebutnya gereja, meskipun sebenarnya tempat ini digunakan untuk berdoa bagi semua agama. Sungguh sebuah bangunan yang menakjubkan, terlebih posisinya yang berada di atas perbukitan.  
Setelah menunggu sekitar 10 menit, kini giliran penulis untuk naik ke lantai atas. Tangga naik ke atas agak sempit dan terbuat dari papan, sehingga harus berhati-hati. Lantai atas pertama adalah bagian leher Merpati. Disini terdapat banyak lukisan di dinding tembok yang menceritakan banyaknya kultur, budaya dan kearifan lokal di Indonesia. Selain itu, pengunjung juga dapat melihat pemandangan melalui jendela-jendela kecil berbentuk jajar genjang. Hamparan tumbuhan yang hijau sangat menyejukkan mata. Melihat ke sisi tenggara, pengunjung dapat melihat indahnya pegunungan Menoreh dengan ciri khasnya, yaitu, seperti seseorang yang sedang tertidur dengan posisi tangan melipat di atas perut. Di sebelah barat, pengunjung dapat melihat bagian ekor Merpati dan hijaunya pemandangan alam Magelang.
Salah satu sudut ruang bawah tanah di Bukit Rhema



Naik ke lantai atas lagi, adalah bagian paruh Merpati yang berwarna merah merekah, seperti memakai gincu. Dinding tembok disini masih polos tanpa lukisan, karena memang masih dalam proses pembangunan. Di bagian paruh ini, terdapat jendela besar yang diberi pagar besi, untuk menikmati pemandangan alam di kabupaten Magelang. Dari sini terlihat indahnya panorama yang asri dan memanjakan mata. Melihat ke sisi tenggara nampak Candi Borobudur yang terlihat kecil namun tetap indah. Melihat ke sisi utara hingga timur laut nampak gagahnya Gunung Sumbing, Merbabu dan Merapi. Sebelah selatan hingga tenggara nampak pegunungan Menoreh yang asri. Tak lupa angin sepoi-sepoi memanjakan penulis yang terus mengagumi indahnya ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dikarenakan kapasitas pengunjung untuk naik ke bagian lantai paling atas hanya terbatas sekitar 5 orang, maka di sini disediakan kursi untuk menunggu giliran naik. Petugas akan mempersilahkan satu persatu orang untuk naik ke Mahkota Merpati. Waktu yang diberikan untuk menikmati bagian paling atas Bukit Rhema ini sekitar 5 menit. Meskipun demikian, masih banyak pengunjung yang berlama-lama untuk mengambil gambar dan berfoto-foto selfie tanpa mempedulikan pengunjung lain yang sudah mengantre di bawah. Hal seperti itu sebaiknya tidak kita contoh.  
Mahkota Merpati merupakan spot yang paling menarik untuk berfoto. Disini pemandangan alam Magelang dan Candi Borobudur nampak lebih jelas terlihat. Seperti halnya adegan yang dilakukan Cinta dan Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta 2, akan lebih baik jika berkunjung ke sini pada pagi hari, untuk menikmati sunrise berlatar belakang Candi Borobudur. Sungguh indah dan menakjubkan. Dari sini pengunjung juga dapat melihat Punthuk Setumbu dan Bukit Barede, Buyang merupakan perbukitan untuk melihat sunrise di Candi Borobudur.
 Pemandangan yang nampak dari Mahkota Merpati


Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 14.30 WIB, penulis pun memutuskan untuk pulang. Akan tetapi, satu hal yang tak boleh terlewatkan apabila berkunjung ke tempat ini adalah berfoto di 4 spot menarik yaitu di pelataran Bukit Rhema dengan jarak 8 meter dari Patung Dewi yang memegang kendi kolam, dari situ foto kita dan background Merpati terbesar di Indonesia akan nampak jelas, foto di mahkota Merpati, ekor Merpati, dan taman.
Akhirnya perjalanan wisata sekaligus olahraga sehat ini berakhir. Sebelum pulang penulis menyempatkan makan, minum dan bersenda gurau bahagia. Sungguh perjalanan yang sehat, terjangkau, dan menyenangkan. Betapa indahnya toleransi di dalam perbedaan itu.  


Comments

Popular posts from this blog

Mikrobiologi : Nutrisi Mikroba

Tanaman Bayam (Amaranthus tricolor Linn)

Biologi Perkembangan Tumbuhan : Perkembangbiakan Vegetatif Melati Air